Pada suatu malam aku duduk diruang tamu, meminum teh hangat sembari mengobrol dengan Mak yang kuhujani pertanyaan-pertanyaan.

  • .
    .
    Mak untung bisnisnya cuma sedikit, tapi mengapa Mak senang sekali berbagi jualan secara cuma cuma?
    "Nak, dengan berbagi, bukannya jualan Mak lebih berkah? Makin berkah, makin Allah ridha sama jualan Mak."
    .
    .
    Mak banyak cobaannya, tapi mengapa mak sedikit mengeluhnya?
    "Nak, Mak mengeluh juga kok. Tapi biar ke Allah aja, jadi Allah ridha sama cara Mak menyelesaikan masalah. Mak tidak mau merepotkan mereka yang tidak perlu direpotkan. Mak tidak mau memberitahu mereka yang tidak perlu tahu."
    .
    .
    Mengapa Mak bisa selalu berbuat baik pada mereka yang selalu melukai hati Mak?
    "Nak, Mak berbuat itu karena Allah, dan manusia hanya perantara. Berbuat baiklah agar Allah ridha dengan usaha kita menjaga perasaan orang lain. Hati Mak cepat sembuhnya, nangis ke Allah saja sudah selesai, tapi hati orang lain siapa yang tahu? Kita yang tak ingin disakiti orang lain, mengapa lantas melakukan hal yang sama?"
    .
    .
    Mak. Mengapa Mak bisa ikhlas menerima kepahitan?
    "Nak, semua hal, semenyakitkan apapun itu, datang pada kita dengan izin Allah. Lalu mengapa kita menyulitkan diri, mengubah hal2 yang diizinkanNya menjadi hal yang tidak mendatangkan ridhaNya karena ketidakterimaan kita? Sambutlah hal hal tersebut sebagai ladang amal kita, pintu surga kita.. agar niat kita indah, dan Allah ridha dengan tiap jengkal kita menapaki hidup."
    .
    .
    .
    "Surga itu mahal, Nak. Sungguh.", Mak berkata tanpa aku tanya. "Sering sering kau asah sabarmu, perbaharui syukurmu, dan tanam ikhlasmu dalam hati. Ketenangan hidupmu itu berbanding lurus dengan kedekatanmu pada Allah, nak."
  • ayut

Terisnpirasi dari tulisan kak cime, maaf layoutnya berantakan. 

Sivma